Text
Bali Narasi Dalam Kuasa
"Dari kejauhan melalui speaker radio sederhana seorang kawan, sayup-sayup terdengar suara serak-serak agak berat. Jelas terdengar suara lelaki paruh baya bernama Ketut Mungkreg membuka pembicaraan. "Tiang (saya) ingin komentar tentang kerusuhan di Buleleng. Sungguh, saya kembali teringat Gestok (Tragedi 30 September 1965). Kali ini, bukan hanya bayangan, tapi sudah saya lihat di depan mata saya"
Walau banyak masyarakat intelektual yang mendukung konsep Ajeg Bali, sekelompok minoritas yang mengkritik karakter top down dari kampanye Ajeg Bali dan membandingkannya dengan penataran P4 (Pancasila) yang diwajibkan pada periode Orde Baru. Mereka takul pada Ajeg Bali karena ketidakjelasannya dapat digunakan untuk mematikan suara bijaklapi kocak dan suara kritis, sedang majalah Sarad memperingatkan kembalinya sikon sikap feodal. Di luar aspek ritual, kampanye Ajeg Bali merupakan instrumen untuk menekankan profil etnik eksklusif dan budaya Bali dan agama. Persatuan dicapai dengan menekankan pada perbedaan etnik. Saat kami bertemu dengan Satria Naradha, dia berbicara tentang Ajeg Bali sebagai 'Cultural Renaissance tapi saat kami bertanya tentang penjabaran pada prakteknya, dia segera meletakkan sweeping migran pada puncak agenda. Ini mengungkap agenda etnik yang kaku dan ekslusif dari Ajeg Bali yang juga menghapus isu tentang kasta dan kelas.
Henk Schulte Nordhoe
Ada banyak ahli yang mencoba menerangkan sejarah mengapa terbantainya 80.000 "manusia merah di Ball Ada yang bilang itu dipicu oleh unsur kasta. tabrakan antara modemitas dan tradisi, konflik elit di pusat atau rivalitas bangsawan lokal. Ini membawa ingatan kita kembali pada tragedi kemanusiaan di Rwanda. Dalam bukunya, Gourevitch menjelaskan bahwa menjagal ratusan ribu orang tentu tidak bisa dengan cara dadakan dan acak tetapi memerlukan sebuah "mekanisme yang menuntut efisiensi dan blaya murah Di Rwanda, calon korban bisa memilih untuk dihabis, kalau ingin dibumihanguskan dengan ditembak, calon korban harus membayar harga timab panas yang dipakai untuk mengeksekusi mereka sebelum menemui ajalnya. Di Indonesia, memang tak seburuk itu. Dipakailah mesin sejarah manual" yang berupa pedang dengan merekrut orang-orang-lokal Sebagai kompensasi atas jasanya banyak dia tameng mendapat kedudukan strategis di masyarakat Jejak-jejak se pemilik pedang berdarah saat '65 bukan menjadi sisa kegilaan tapi se colfural capital antok pentas sejarah kekinian.
BNDKP-001 | 320 SUR b C1 | My Library (300) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain